Free Lines Arrow

Friday, 10 April 2015

ANALISIS RASIO INTERNASIONAL



ANALISIS RASIO INTERNASIONAL
            Analisis rasio keuangan merupakan alat yang sangat baik untuk evaluasi kinerja keuangan, analisis kredit dan analisis surat berharga. Meskipun rasio keuangan dapat secara tepat mengukur likuiditas dalam perbandingan di suatu negara, sering kali rasio ini disalahgunakan ketika digunakan untuk perbandingan keuangan lintas batas, sebagian karena masalah perbedaan prinsip akuntansi. Masalah yang lebih serius adalah bahwa investor dapat salah menginterprestasikan rasio ini karena mereka tidak memahami lingkungan luar negeri, meskipun laporan keuangan telah disajikan ulang menurut satu set prinsip akuntansi yang umum.

PERTIMBANGAN LINGKUNGAN
            Perusahaaan-perusahaan jepang terlihat memilih pengungkit yang sangat tinggi. Sebagai contoh, studi terdahulu yang dilakukan oleh SEC menemukan bahwa rata-rata pengungkit (total uang/ekuitas pemegang saham) dalam sampel jepang yang diambil adalah sebesar 2,032, sedangkan untuk sampel AS sebesar 0,514. Namun demekian secara tradisional rasio utang bukanlah sumber kekhawatiran utama di jepang. Sebagian alasan nya bersifat historis.
               Pada saat pemerintah Jepang (yang berada di bawah tekanan dari amerika serikat) mengakhiri isolosasi selama 200 tahun pada pertengahan abad ke-19, Jepang telah membuat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang cepat sebagai tujuan nasional yang utama. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah membuat infrastruktur perbankan yang luas untuk memasok kebanyakan kebutuhan pendanaan industri. Ketergantungan perusahaan-perusahaan industri terhadap sistem perbankan meningkat setelah perang dunia 11. Kelompok industri baru dan besar yang disebut sebagai keiretsu berkembang dengan bank komersial utama sebagai intinya. Terhubung melalui ikatan bisnis dan pribadi, bank dan perusahaan asosiasinya sangatlah dekat. Apabila pinjaman menjadi tidak lancar, bank (sering kali) memperpanjang masa pembayaran kembali atau (kadang-kadang) mendanai kembali pinjaman tersebut. Sebuah bank bahkan dapat mengangkat seorang pegawai utama bank sebagai presiden atau anggota dewan perusahaan yang mengalami kesulitan tersebut untuk membantu penyelesaian nya.
            Perusahaan lain dalam keiretsu dapat membayar di depan piutang terhadap perusahaan yang bermasalah dan memperbolehkan periode yang lebih panjang bagi perusahaan itu untuk membayar kembali piutang nya. Dengan kemampuan untuk memanipulasi dan menunda pembayaran bunga dan pokok ini, utang jangka panjang di Jepang memiliki sifat yang lebih mirip dengan ekuitas di Amerika Serikat.
           Karena utang jangka panjang di Jepang memiliki karakteristik yang mirip dengan yang mirip dengan saham preferen, maka pembayaran bunga di Jepang dapat disetarakan dengan dividen.
          Dengan demikian,rasio cakupan bunga, yang umumnya jauh lebih rendah di Jepang dari pada di Amerika Serikat tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Laba di Jepang melampaui yang dibutuhkan agar pembayaran pinjaman mendatangkan sedikit manfaat bagi bank. Pada waktu pinjaman dinegosiasikan, peminjam membuat (dan jarang sekali mengungkapkan nya) perjanjian umum yang memberikan agunan (collateral) atau jaminan kepada bank berdasarkan permintaan bank. Juga berdasarkan permintaan bank, perusahaan peminjam harus mengajukan usulan penyisihan (apropriasi) pendapatan pada akhir tahun (termasuk dividen) kepada bank sebelum dapat diajukan kepada pemegang saham untuk disetujui. Bank umumnya menuntut saldo kompensasi meskipun tergolong tidak sah, dimana sebesar 20 hingga 50% dari pinjaman perusahaan di laporkan disimpan pada bank itu sebagai deposito berjangka (atau lainnya). Berdasarkan kondisi ini, cakupan bunga yang rendah biasanya tidak berarti risiko gagal bayar yang tinggi.
          Faktor kelembagaan dan budaya juga memengaruhi risiko keuangan yang mana rasio itu dirancang untuk dapat mengukurnya. Sebagai contoh, seorang pembaca dari Amerika yang melihat relatif rendah nya rasio kini dari perusahaan-perusahaan Jepang (sebagai akibat dari relatif tingginya utang jangka pendek) dapat menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang memiliki kemampuan yang relatif lebih rendah untuk mengatasi utang jangka pendek mereka. Namun demikian, di Jepang utang jangka pendek yang tinggi jarang sekali mengindikasikan kekurangan likuiditas. Utang jangka pendek sangat menarik bagi perusahaan karena kewajiban jangka pendek umumnya memiliki bunga yang lebih rendah dibandingkan kewajiban jangka panjang. Lagi pula, pinjaman jangka pendek di Jepang jarang sekali langsung di bayar kembali, tetapi umumnya diperbaharui atau diperpanjang. Bank senang untuk memperbaharui pinjaman ini karena memungkinkan bank untuk menyesuaikan tingkat suku bunga terhadap perubahan kondisi pasar. Dengan demikian, utang jangka pendek di Jepang memiliki sifat yang sama dengan utang jangka panjang di tempat lain. Dalam kenyataannya, penggunaan utang jangka pendek untuk mendanai aktiva jangka panjang merupakan suatu aturan, dan bukan larangan, di Jepang.
            Periode penagihan rata-rata yang lebih panjang juga mencerminkan perbedaan dalam budaya usaha. Pembelian di Jepang jarang sekali dilakukan secara tunai. Cek mundur dengan masa jatuh tempo berkisar antara 60 hingga 90 hari merupakan hal yang biasa. Tradisi Jepang atas kesempatan kerja seumur hidup juga memiliki beberapa pengaruh terhadap kebijakan penagihan. Perusahaan sering sekali berupaya keras untuk mengakomodasi pelanggan komersial mereka. Selama masa kejatuhan bisnis, perusahaan memperpanjang masa pembayaran kembali untuk menghindari menempatkan pelanggan mereka dalam ikatan keuangan yang malah mungkin memaksa mereka untuk menghentikan karyawan. Sebagai gantinya, perlindungan patron terus-menerus memastikan stabilitas lapangan kerja (dan hal-hal lainnya) bagi perusahaan penjual. Angka perputaran persediaan juga sama terpengaruhnya.
            Selama periode kurang baik, perusahaan manufaktur lebih suka untuk melanjutkan produksi dan menimbun pesediaan dari pada memiliki karyawan tanpa pekerjaan. Para manajer Jepang tidak terlalu mengkhawatirkan laba jangka pendek sebagaimana rekan-rekan mereka dari AS. Mereka lebih memiliki keamanan kerja dari pada yang ada di Amerika Serikat. Bagian ekuitas saham di perusahaan Jepang sebagian besar dimiliki oleh bank komersial, pemasok dan pelanggan yang terkait. Para pemegang saham ini lebih tertarik dalam upaya untuk mempertahankan ikatan usaha mereka dibandingkan dengan keuntungan pasar saham, dan akan memiliki saham tersebut dalam jangka panjang, dan bukan berdasarkan kinerja pasar jangka pendek.
               Para manager perusahaan di Jepang yakin bahwa kenaikan pangsa pasar akan menjamin laba jangka panjang. Karena alasan ini, pertumbuhan penjualan merupakan tujuan utama. Pertumbuhan penjualan memberikan kontribusi dalam lapangan kerja yang lebih tinggi dan keamanan kerja yang lebih baik dan konsisten dengan tradisi lapangan kerja seumur hidup. Karena seluruh perusahaan Jepang mencari pertumbuhan penjualan, kompetisi dalam harga sangat intensif, sehingga menghasilkan margin laba dan statistik profitabilitas yang rendah. Hal ini terjadi khususnya pada perusahaan besar yang bisanya menjual dalam jumlah besar pada pasar ekspor yang luar biasa kompetitif.
             Dengan demikian, apakan perusahaan-perusahaan Jepang benar-benar lebih berisiko, kurang efisien dan kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan AS? Tidak selalu seperti itu.
            Di Eropa, karakteristik nasional juga terlihat sanagt memengaruhi pengukuran laba.perusahaan besar di Prancis dan  Jerman cenderung lebih konservatif dalam mengukur laba dibandingkan dengan perusahaan besar di Inggris. Yang juga penting adalah undang-undang pajak dan ketergantungan akan modal kepada para kreditor dan bukan investor.