ANALISIS RASIO INTERNASIONAL
Analisis
rasio keuangan merupakan alat yang sangat baik untuk evaluasi kinerja keuangan,
analisis kredit dan analisis surat berharga. Meskipun rasio keuangan dapat
secara tepat mengukur likuiditas dalam perbandingan di suatu negara, sering
kali rasio ini disalahgunakan ketika digunakan untuk perbandingan keuangan
lintas batas, sebagian karena masalah perbedaan prinsip akuntansi. Masalah yang
lebih serius adalah bahwa investor dapat salah menginterprestasikan rasio ini
karena mereka tidak memahami lingkungan luar negeri, meskipun laporan keuangan
telah disajikan ulang menurut satu set prinsip akuntansi yang umum.
PERTIMBANGAN LINGKUNGAN
Perusahaaan-perusahaan
jepang terlihat memilih pengungkit yang sangat tinggi. Sebagai contoh, studi
terdahulu yang dilakukan oleh SEC menemukan bahwa rata-rata pengungkit (total
uang/ekuitas pemegang saham) dalam sampel jepang yang diambil adalah sebesar
2,032, sedangkan untuk sampel AS sebesar 0,514. Namun demekian secara
tradisional rasio utang bukanlah sumber kekhawatiran utama di jepang. Sebagian
alasan nya bersifat historis.
Pada saat pemerintah Jepang
(yang berada di bawah tekanan dari amerika serikat) mengakhiri isolosasi selama
200 tahun pada pertengahan abad ke-19, Jepang telah membuat pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi yang cepat sebagai tujuan nasional yang utama. Untuk
mencapai tujuan ini, pemerintah membuat infrastruktur perbankan yang luas untuk
memasok kebanyakan kebutuhan pendanaan industri. Ketergantungan
perusahaan-perusahaan industri terhadap sistem perbankan meningkat setelah
perang dunia 11. Kelompok industri baru dan besar yang disebut sebagai keiretsu
berkembang dengan bank komersial utama sebagai intinya. Terhubung melalui
ikatan bisnis dan pribadi, bank dan perusahaan asosiasinya sangatlah dekat.
Apabila pinjaman menjadi tidak lancar, bank (sering kali) memperpanjang masa pembayaran
kembali atau (kadang-kadang) mendanai kembali pinjaman tersebut. Sebuah bank
bahkan dapat mengangkat seorang pegawai utama bank sebagai presiden atau
anggota dewan perusahaan yang mengalami kesulitan tersebut untuk membantu
penyelesaian nya.
Perusahaan lain dalam
keiretsu dapat membayar di depan piutang terhadap perusahaan yang bermasalah
dan memperbolehkan periode yang lebih panjang bagi perusahaan itu untuk
membayar kembali piutang nya. Dengan kemampuan untuk memanipulasi dan menunda pembayaran
bunga dan pokok ini, utang jangka panjang di Jepang memiliki sifat yang lebih
mirip dengan ekuitas di Amerika Serikat.
Karena utang jangka panjang di
Jepang memiliki karakteristik yang mirip dengan yang mirip dengan saham
preferen, maka pembayaran bunga di Jepang dapat disetarakan dengan dividen.
Dengan demikian,rasio cakupan bunga,
yang umumnya jauh lebih rendah di Jepang dari pada di Amerika Serikat tidak
perlu terlalu dikhawatirkan. Laba di Jepang melampaui yang dibutuhkan agar
pembayaran pinjaman mendatangkan sedikit manfaat bagi bank. Pada waktu pinjaman
dinegosiasikan, peminjam membuat (dan jarang sekali mengungkapkan nya)
perjanjian umum yang memberikan agunan (collateral) atau jaminan kepada bank
berdasarkan permintaan bank. Juga berdasarkan permintaan bank, perusahaan
peminjam harus mengajukan usulan penyisihan (apropriasi) pendapatan pada akhir
tahun (termasuk dividen) kepada bank sebelum dapat diajukan kepada pemegang
saham untuk disetujui. Bank umumnya menuntut saldo kompensasi meskipun
tergolong tidak sah, dimana sebesar 20 hingga 50% dari pinjaman perusahaan di
laporkan disimpan pada bank itu sebagai deposito berjangka (atau lainnya).
Berdasarkan kondisi ini, cakupan bunga yang rendah biasanya tidak berarti risiko
gagal bayar yang tinggi.
Faktor kelembagaan dan budaya juga
memengaruhi risiko keuangan yang mana rasio itu dirancang untuk dapat
mengukurnya. Sebagai contoh, seorang pembaca dari Amerika yang melihat relatif
rendah nya rasio kini dari perusahaan-perusahaan Jepang (sebagai akibat dari
relatif tingginya utang jangka pendek) dapat menyimpulkan bahwa
perusahaan-perusahaan Jepang memiliki kemampuan yang relatif lebih rendah untuk
mengatasi utang jangka pendek mereka. Namun demikian, di Jepang utang jangka
pendek yang tinggi jarang sekali mengindikasikan kekurangan likuiditas. Utang
jangka pendek sangat menarik bagi perusahaan karena kewajiban jangka pendek
umumnya memiliki bunga yang lebih rendah dibandingkan kewajiban jangka panjang.
Lagi pula, pinjaman jangka pendek di Jepang jarang sekali langsung di bayar
kembali, tetapi umumnya diperbaharui atau diperpanjang. Bank senang untuk
memperbaharui pinjaman ini karena memungkinkan bank untuk menyesuaikan tingkat
suku bunga terhadap perubahan kondisi pasar. Dengan demikian, utang jangka
pendek di Jepang memiliki sifat yang sama dengan utang jangka panjang di tempat
lain. Dalam kenyataannya, penggunaan utang jangka pendek untuk mendanai aktiva
jangka panjang merupakan suatu aturan, dan bukan larangan, di Jepang.
Periode penagihan rata-rata yang
lebih panjang juga mencerminkan perbedaan dalam budaya usaha. Pembelian di
Jepang jarang sekali dilakukan secara tunai. Cek mundur dengan masa jatuh tempo
berkisar antara 60 hingga 90 hari merupakan hal yang biasa. Tradisi Jepang atas
kesempatan kerja seumur hidup juga memiliki beberapa pengaruh terhadap
kebijakan penagihan. Perusahaan sering sekali berupaya keras untuk
mengakomodasi pelanggan komersial mereka. Selama masa kejatuhan bisnis,
perusahaan memperpanjang masa pembayaran kembali untuk menghindari menempatkan
pelanggan mereka dalam ikatan keuangan yang malah mungkin memaksa mereka untuk
menghentikan karyawan. Sebagai gantinya, perlindungan patron terus-menerus
memastikan stabilitas lapangan kerja (dan hal-hal lainnya) bagi perusahaan
penjual. Angka perputaran persediaan juga sama terpengaruhnya.
Selama periode kurang baik,
perusahaan manufaktur lebih suka untuk melanjutkan produksi dan menimbun
pesediaan dari pada memiliki karyawan tanpa pekerjaan. Para manajer Jepang
tidak terlalu mengkhawatirkan laba jangka pendek sebagaimana rekan-rekan mereka
dari AS. Mereka lebih memiliki keamanan kerja dari pada yang ada di Amerika
Serikat. Bagian ekuitas saham di perusahaan Jepang sebagian besar dimiliki oleh
bank komersial, pemasok dan pelanggan yang terkait. Para pemegang saham ini
lebih tertarik dalam upaya untuk mempertahankan ikatan usaha mereka
dibandingkan dengan keuntungan pasar saham, dan akan memiliki saham tersebut
dalam jangka panjang, dan bukan berdasarkan kinerja pasar jangka pendek.
Para manager
perusahaan di Jepang yakin bahwa kenaikan pangsa pasar akan menjamin laba
jangka panjang. Karena alasan ini, pertumbuhan penjualan merupakan tujuan
utama. Pertumbuhan penjualan memberikan kontribusi dalam lapangan kerja yang
lebih tinggi dan keamanan kerja yang lebih baik dan konsisten dengan tradisi
lapangan kerja seumur hidup. Karena seluruh perusahaan Jepang mencari
pertumbuhan penjualan, kompetisi dalam harga sangat intensif, sehingga
menghasilkan margin laba dan statistik profitabilitas yang rendah. Hal ini
terjadi khususnya pada perusahaan besar yang bisanya menjual dalam jumlah besar
pada pasar ekspor yang luar biasa kompetitif.
Dengan demikian,
apakan perusahaan-perusahaan Jepang benar-benar lebih berisiko, kurang efisien
dan kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan AS?
Tidak selalu seperti itu.
Di Eropa,
karakteristik nasional juga terlihat sanagt memengaruhi pengukuran
laba.perusahaan besar di Prancis dan
Jerman cenderung lebih konservatif dalam mengukur laba dibandingkan
dengan perusahaan besar di Inggris. Yang juga penting adalah undang-undang
pajak dan ketergantungan akan modal kepada para kreditor dan bukan investor.